Dulu jauh sebelum menikah bahkan sebelum bertemu dengan pasangan saya sekarang, saya sudah punya niat yang kuat, jika nanti saya punya anak akan saya urus sendiri dan akan menjadi Ibu Rumah Tangga. Banyak sekali yang menyayangkan keputusan saya kala itu untuk berhenti kerja setelah saya hamil dan akan melahirkan, bahkan Amma (Mama) saya sendiri sampai sekarang masih tak rela.
Saya sering kali bertemu dengan orang lain terjadi dialog bigini,
B = Bapak2
D = saya
Saya sedang nyapu di teras depan rumah, ada bapak2 kenalan Appa ( papa ) saya lewat dan berhenti di depan rumah
B = Ga kerja dek?
D = udah ga kerja pak, udah berhenti (sambil senyum)
B = loh, sarjana kan ya? Sayang ya (dengan nada gimana gitu)
D = (senyum doang, ga tau mau gimana)
Dan kejadian begini sering terjadi, seolah-olah di pandangan orang lain, jika kita sebagai perempuan dan sarjana kemudian memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga itu sesuatu keputusan yang salah dan (apa ya, susah ngejelasinnya) kayak di pandang sebelah mata gitu. Ada yang pernah punya pengalaman seperti saya? Padahal untuk menjadi ibu rumah tangga itu juga harus pintar kan ya.
Banyak hal yang saya pertimbangkan sehingga akhirnya saya memilih untuk menjadi Ibu Rumah Tangga dan melepaskan pekerjaan saya, yang sebenarnya sudah sangat nyaman. Pertimbangan saya antara lain:
1. Ibu itu madrasah (sekolah) pertama bagi anak
Ketika seorang anak lahir, yang paling dekat, yang mengajarkan berbagai hal baru, mangajarkan berbicara, mengajarkan berjalan, mengajarkan berbagai kata, mengajarkan berbagai hal-hal baik yang harus ditiru, mengajarkan agama, sopan santun, etika dll adalah ibunya. Ibunyalah yang menjadi guru pertama dalam kehidupannya. Dan saya ingin mengambil peran itu secara utuh.
2. Anak itu titipan Allah
Saya pernah membaca salah satu ungkapan dari seorang Psikolog anak ternama "Anak itu titipan Allah, Allah langsung yang menitipkannya pada rahim kita, masak kita titipkan lagi anak yang Allah titipkan itu kepada orang lain, memangnya Allah salah titip? jika kita di titipi anak presiden, pasti kita akan menjaganya dengan baik, apalagi jika yang menitipkannya adalah Allah, dan kelak di akhirat kita akan dimintai pertanggungjawabannya".
Sungguh menjadi seorang ibu di zaman sekarang itu sangat berat, banyak sekali tantangan yang harus di hadapi oleh seorang ibu agar anaknya kelak menjadi anak yang baik, sholeh sholehah, dan menjadi anak yang berguna dan membanggakan, pengaruh lingkungan dan teknologi saat ini sangat amat mengkhawatirkan, sebagai seorang ibu baru kadang saya merasa sangat kurang ilmu, apalagi ilmu agama yang menjadi dasar pendidikan, saya ingin menjadi ibu yang terus belajar dan belajar sehingga bisa mendidik anak dengan baik dan bisa mempertanggungjawabkannya kelak dihadapan Allah.
3. Permintaan suami
Setelah menikah sebenarnya suami sudah meminta saya untuk berhenti bekerja, tapi saya meminta waktu hingga nanti punya anak, dan suami menyetujui. Saat hamil semester awal suami kembali meminta saya menjanjikan menjelang lebaran kala itu ( tahun 2016) dan 2 hari menjelang lebaran saya sah resign dari kantor, saat itu saya hamil 7 bulan. Dan kupusan ini agak sedikit saya sesalkan, mengapa saya tidak resign setelah cuti melahirkan, lumayan sekali gajinya bisa jadi tabungan, tapi memang bukan rezeki saya sepertinya.
4. Tidak bisa menitipkan anak
Jika kebanyakan wanita yang memiliki anak bisa menitipkan anaknya ke ibu atau mertuanya, saya tidak bisa melakukan itu, Amma saya sangat amat sibuk, jangankan dititipkan cucu, untuk dirinya sendiri saja 24 jam sehari itu rasanya kurang. Amma dan Appa saya punya RM Makan Padang, Amma kerja dari bada subuh hingga nanti jam 10 atau 11 malam, dan begitu setiap hari. Mertua saya seorang guru di salah satu SMP di Sengkuang dan tidak mungkin juga saya titipkan cucu. Dan saya tidak percaya menitipkan anak kepada orang lain. Melihat banyak video-video yang memperlihatakan bagaimana baby sitter dan pembantu atau tempat penitipan anak menyiksa anak asuhnya membuat saya ngeri menitipkan anak kepada orang lain.
Kita sebagai ibunya jika anak berbuat 'nakal' atau melakukan sesuatu yang terkadang di luar kewajaran sering kali menjadi emosi, jengkel dan ingin memukul atau yang lainnya, tapi terpaksa harus bersabar dengan kelakuan anak, apalagi orang lain yang jelas tak memiliki ikatan darah dan ikatan batin dengan anak kita, bisa saja mereka melampiaskan emosinya kepada anak kita, toh kita nggak liat apa yang mereka lakukan, atau misalnya anak kita terjatuh karena takut mereka tidak melaporkan apa yang terjadi kepada kita.
5. Tak ingin melewatkan masa-masa Emas
Anak usia 0-3 tahun berada pada masa emas, anak kita mengalami perkembangan yang begitu pesat, dari pertama dilahirkan, lahir di dunia, sentuhan pertama kita dengannya, pertama kali buka mata, tersenyum, bersuara, bergerak, berguling, merangkak duduk, berdiri, melangkah, berjalan dan seterusnya sungguh itu adalah momen yang sangat berharga dan tidak akan terulang kembali. Pernah satu kali, ketika Cyila saya tinggal kedapur sebentar saja , dan Cyila melangkah untuk pertama kalinya di hadapan atuk dan neneknya, padahal cuma beberapa menit saja sayantinggal dan saya melewatkan momen berharga itu, apalagi jika saya bekerja, berapa banyak momen berharga yang akan saya lewatkan.
6. Pengalaman masa kecil
Waktu saya kecil dulu Amma sering cerita, dari berempat adik beradik sayang paling "sengsara" paling " terlantar" tak terlalu diurus seperti ketiga adik saya lainnya. Saat itu masa-masa sulit kedua orang tua saya, saat baru merintis usaha di Batam, saat-saat berat, sehingga saya seringkali di tinggal, bahkan satu waktu kata Amma saat saya umur 1 tahunan pernah di tinggal sendiri dirumah sementara Amma ambil air di sumur yang jaraknya lumayan jauh, atau pernah saya dilarikan ke UGD pada malam takbiran dan tak sadarkan diri karena kepala saya kejedot tembok saat diayun Amma sambil bekerja. Pernah salah seorang oom yang dari saya kecil ikut dengan Appa bekerja bilang begini " dulu waktu kecil, Dian itu kurus sekali, sering sakit-sakitan, oom nyangka umurnya enggak bakalan lama, eh ternyata sekarang udah sebesar ini". Dari pengalaman inilah saya bertekat hal ini tak akan terjadi dengan anak-anak saya kelak.
Jika di uraikan satu persatu banyak hal yang membuat saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Saya menulis tentang ini tak bermaksud untuk menyinggung orang lain, sungguh saya menulis ini karena kebutuhan saya sendiri, beberapa kali saya mengalami masa-masa down, merasa rendah diri, merasa berkecil hati, merasa tak berguna, merasa kecil sekali karena hanya menjadi ibu rumah tangga, ada saat-saat dimana saya ingin bekerja lagi, ingin bisa eksis di luar, ingin melakukan berbagai aktifitas di luar lagi, ingin mempunyai penghasilan tetap lagi dan dengan tulisan ini saya berharap bisa memberikan semangat saya untuk memantapkan hati atas keputusan yang saya ambil dan kembali meningkatkan kepercayaan diri saya.
Menjadi ibu rumah tangga atau ibu yang bekerja itu pilihan masing-masing orang, setiap orang punya prioritasnya masing-masing, ada wanita yang berkerja karena single parent, tulang punggung keluarga, masih punya tanggung jawab untuk keluarga dan adik-adik misalnya, atau karena faktor ekonomi dan semua itu kembali lagi kepada diri sendiri. Tak ada perbandingan menjadi ibu rumah tangga lebih baik dari pada ibu yang bekerja, atau sebaliknya ibu bekerja lebih baik dari pada ibu rumah tangga, setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Saya salut dengan ibu-ibu bekerja, sungguh itu bukanlah pekerjaan mudah. Salam semangat buat semua ibu-ibu hebat!
Menurut saya, itu keputusan yang tepat dan perlu dihargai. Semua peran ibu yg dijelaskan di atas benar sekali, dan anak2 sekarang banyak kehilangan perhatian kasih sayang yg sesungguhnya dari ortunya. Salut utk mbak
ReplyDeleteMakasi pak, ini juga masih memupuk semangat biar ga tergoda buat kerja lagi
DeletePilihan yang bijak untuk mbak sekeluarga, semoga menjadi keluarga yang sakinah,dan anak-anaknya tumbuh menjadi anak yg sholeh dan sholehah
ReplyDeleteAamiin.. mkasi mas, semoga begitu juga dngan mas dn keluarga
DeleteKita samaan mba, tos dulu ah. Sy juga memilih u/membersamai anak2 di rumah, belum rela membagi waktu sy untuk profesi. Apalagi dulu ketika kecil sy bersama art jd terasa sekali saat besar tdk memiliki kedekatan dg mama saya, bahkan untuk curhat sekalipun
ReplyDeleteKerja urus rumah dan anak itu bukan perkara mudah, tanggung jawabnya tak kalah besar. Setuju saya sama kak dian. Yuk, sama-sama kita bersemangat menjadi ibu rumah tangga!
ReplyDeleteIya kak, klo orang bilang jdi IRT itu ga kerja, padahal klo di jalanin, kerjaannya ga habis2, Salam Semangat ! 😊
Deletejadi ibu rumah tangga itu pekerjaan idaman saya lho kak
ReplyDeleteJadi ibu rumah tanggak itu nggak mudah apalagi semua dikerjakan sendiri tanpa asisten. Seperti ibu dengan alasan anak2 akhirnya harus jadi ibu rumah tangga 100 persen. Tapi kami anak2nya sangat bersyukur karena semua momen berharga didampingi ibu. pulang sekolah sambil makan siang selalu cerita dengan ibu.
ReplyDeleteSaya pengen jadi ibu yg kyk gitu kak, smoga bisa ya, salam buat ibunya kak Danan 😊
Deletehahahha aku juga gitu yan, walau sekarang suami juga belum dapat kerjaan tetap maasih ga rela aja buat ngelamar kerja jadi guru dll... padahal udah dicariin lahannya, tapi kami tetap ikhtiar aja dengan usaha yang ada. kadang diledekin sama keluarga, dua duanya sarjana tapi pengangguran hahaha miris sih tapi yang jalanin kan kita. semangat!!!
ReplyDeleteKlo punya usaha mah bkn pengangguran namanya, kdang org2 anggap remeh punya usaha / dagang, padahal klo di itu2 penghasilannya lebih banyak, kami aja baru mau merintis hehe... walau jdi ibu rumah tangga harus tetap berpenghasiln ya kan
DeleteSiip... setuju banget mba.. saya suka saya suka... :), saya pun dulu merasa begitu berat menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga. Tapi lama kelamaan saya mulai bisa menikmati peran saya sebagai istri dan ketika sudah punya anak maka semakin terasa peran sebagai ibu rumah tangga. Pernah suatu ketika iseng suami menawarkan mau bekerja lagi apa mau mengurus anak akhirnya saya bulatkan tekad mengurus anak. Karena sama seperti alasan mba saya ngga mau melewatkan golden age anak saya. It just happen for once in life ... Rejeki inn syaa Allah sudah ada yg menjamin dan mengatur tapi full Time momy buat anak anak itu pilihan. Semangat !!!
ReplyDeleteIya mbak, semangat buat kita para ibu 😊
DeleteSemangat mbak!! sayapun Ibu Rumah Tangga yang memilih resign + S2,
ReplyDeleteAmal Jariyah kita jadi seorang Ibu untuk anak-anak, maka bersungguh-sungguhlah..
terima kasih sharinya mbak
Iya mbak, insya allah jdi pahala kelak
DeleteSama2 mbak
Semangat mbak #sembari nyemangatin diri sendiri hehe
ReplyDeleteSemangat mbak ! 😊
DeleteAku kalau udah nikah juga pengen jadi Ibu Rumah Tangga mbk. Terserah deh orang mau blang apa. Tp entar ngelihat kondisi lagi. Hehe. Btw, salam kenal mbk, muthihauradotcom
ReplyDeletesemoga dikasih jalan ya kak, dan semoga segera dapet jodoh hehe
Deletesalam kenal juga :)
Begitu menikah saya mendadak resign karena nggak bisa pindah ke cabang yang sedaerah dengan domisili suami..pertama stres juga lantaran biasa kerja. Apalagi anak pertama saya meninggal dunia. Tapi, Alhamdulillah makin ke sini makin tahu maksud Allah memberikan jalan itu. Ternyata saya harus pindah " ikut suami bertugas. Tentu repot kalau saya juga ngurus terus pindah " kerja. Selalu ada hikmah dibaliknya
ReplyDeleteYg sabar ya mbak, selalu ada hikmah setiap Kejadian, klo saya kemana suami pergi saya ikut hehe
DeleteMbak dian hebat ihhh,,btw mbk dian ini member IIP ( institut ibu profesional) Batam bukan ya??
ReplyDeletesaya mah nggak ada apa2nya mbak :) bukan mbak, tapi pernah ikut kulwap sekali hehe.. pengen bgt ikut tapi nggak bisa keluar2
Deletebegitu menikah, saya juga pengen banget jadi ibu rumah tangga
ReplyDeletetapi ada beberapa hal yang tidak bisa diutarakan
dan akhirnya kembali kepada fitrah nya
dimana saya akhirnya menjadi
bapak rumah tangga
hahaha.. mas Arreza bisa aja
DeleteWorking moms dan Time Full Mother itu ada feel nya masing-masing sih menurut saya. tergantung gimana kita membagi waktu dan mengambil peran penting untuk keluarga.
ReplyDeleteiya mbak, betul sekali. saya salut sama ibu yg bekerja, dulu sebelum punya anak aja, pulang kerja ngurus rumah aja rasanya keteteran, ga kebayang ditambah ngurus anak juga
DeleteSaya setuju, teteh. Walaupun poin ketiga itu memang paling berat sih. Hehe. Tapi saya sugesti diri. Nanti rizkinya dititipkan ke suami sama Allah. Rizki kita ttp ada, jalannya lewat suami 😁
ReplyDeleteiya betul sekali mbak. dlu saya waktu masih kerja Alhamdulillah rezekinya "cukup" sekarang udah nggak kerja Alhamdulillah masih "cukup" :)
Delete